Batalnya Wudhu menurut imam Madzhab

Batalnya Wudhu menurut imam Madzhab


  1. A.  Sebab-sebab Batalnya Wudhu menurut Imam Madzhab.
  • Kencing, Kotoran, dan Keluar Angin
Kaum muslimin telah sepakat semua bahwa keluarnya kencing dan kotoran dari dua jalan (qubul dan dubur), serta angin dari tempat yang biasa, maka ia dapat membatalkan wudhu. Sedangkan keluarnya ulat, batu kecil, darah dan nanah, maka ia dapat membatalkan wudhu, menurut Syafi’i, Hanafi, dan Hambali. Tetapi menurut Maliki, tidak sampai membatalkan wudhu, kalau semuanya itu tumbuh dari perut, tetapi kalau tidak tumbuh di dalamnya, seperti orang yang sengaja menelan batu kecil, lalu batu tersebut keluar dari tempat biasa ( anus ), maka ia dapat membatalkan wudhu.Imamiyah: ia tidak membatalkan wudhu, kecuali kalau keluar bercampur dengan kotoran.[1]
  • Madzi dan Wadzi
Menurut empat mazhab:Ia dapat membatalkan wudhu, tetapi menurut Imamiyah; Tidak sampai membatalkan wudhu. Hanya maliki memberikan pengecualian bagi orang yang selalu keluar madzi. Orang yang seperti ini tidak diwajibkan berwudhu lagi.[2]
  • Hilang Akal
Hilangnya aqal baik itu berupa gila, pingsan ataupun sakit ayan. Baik hilangnya aqal tersebut karena minum-minuman keras atau karena sabu-sabu menurut kesepakatan semua ulama, ia dapat membatalkan wudhu. Termasu dari hilangnya akal adalah tidur. Terdapat perbedaan pendapat tentang tidur dalam membatalkan wudhu. [3]
Imamiyah: kalau hati, pendengaran dan penglihatanya tidak berfungsi sewaktu ia tidur, sehingga tidak dapat mendengar pembicaraan orang-orang disekitarnya dan tidak dapat memahaminya, baik orang yang tidur tersebut dalam keadaan duduk, terlentang atau berdiri, maka bila sudah demikian dapat membatalkan wudhu[4]. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Hambali.Hanabilah :Mereka berpendapat bahwa tidur itu sendiri dapat membatalkan wudhu’ hingga walaupun ia mendudukkan pantatnya diatas sesuatu yang dapat dijamin dapat menahan keluarnya kentut, kecuali bila tidurnya itu sebentar[5].
Hanafi: kalau orang yang mempunyai wudhu itu tidur dengan terlentang, atau tertelungkup pada salah satu pahanya, maka wudhunya menjadi batal. Tapi kalau tidur duduk, berdiri, ruku’ atau sujud, maka wudhunya tidak batal. Barang siapa yang tidur pada waktu sholat dan keadaanya tetap dalam posisi seperti sholat, maka wudhunya tidak batal, walaupun tidur sampai lama.
Syafi’i: kalau anusnya tetap dari tempat duduknya, seperti mulut botol yang tertutup, maka tidur yang demikian itu tidak sampai membatalkan wudhu, tetapi bila tidak, maka batal wudhunya.
Maliki: membedakan antara tidur ringan dengan tidur berat. Kalau tidur ringan, tidak membatalkan wudhu, begitu juga kalau tidur berat dan waktumnya hanya sebentar, serta anusnya tertutup. Tapi kalau ia tidur berat, dan waktunya panjang, ia dapat membatalkan wudhu, baik anusnya tertutup maupun terbuka.[6]
  • Mani
Mani dapat membatalkan wudhu, menurut Hanafi, Maliki, dan Hambali, tetapi menurut Syafi’i, ia tidak dapat membatalkan wudhu. Sedangkan menurut Imamiyah: mani itu hanya diwajibkan mandi bukan di wajibkan berwudhu.[7]
Malikiyah : Mereka berpendapat bahwa air mani yang biasa keluar tanpa rasa nikmat tidaklah mewajibkan mandi, melainkan hanya membatalkan wudhu saja. Syafi’iyah : Mereka berpendapat bahwa keluarnya mani itu mewajibkan mandi, baik itu keluar dengan rasa nikmat atau tidak. Meskipun keluarnya mani itu mewajibkan mandi, namun ia tidak membatalkan wudhu[8].
  • Menyentuh
Syafi’i: kalau orang-orang yang berwudhu itu menyentuh wanita lain tanpa ada aling-aling (batas), maka wudhunya batal, tapi kalau bukan wanita lain, seperti saudara wanita maka wudhunya tidak batal.Syafi’iyah : Mereka berpendapat bahwa menyentuh wanita bukan mahram itu membatalkan wudhu secara mutlak sekalipun tanpa merasakan nikmat, sekalipun lelakinya itu lemah tua dan wanitanya lemah tua juga dan tidak berwajah menarik. Namun mereka memperkecualikan rambut, gigi, dan kuku yang tidak membatalkan wudhu jika tersentuh antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram[9].
Hanabillahberpendapat bahwa menyentuh wanita dengan tanpa ada penghalang dan dengan sahwat membatalkan wudhu. Baik itu wanita muhrimnya atau bukan muhrimnya, baik itu yang disentuh hidup atau sudah mati, baik itu yang disentuh wanita mudah, tua atau anak perempuan kecil. Hal ini juga berlaku pada perempuan, apabila perempuan meyentuh laki-lak dengan sahwat maka wudhunya batal. Tidak membatalkan wudhu apabila menyentuh kuku, rambut dan gigi.
Untuk yang disentuh hanabilah berpendapat bahwa wudhu orang yang disentuh tidak batal walaupun dalam dirinya terdapat sahwat. Dan tidak membatalkan wudhu juga laki-laki menyentuh laki-laki (walaupun amrod), perempuan menyentuh perempuan, banci menyentuh banci meskipun kesemuanya itu timbul rasa sahwat.
Malikiyah berpendapat : apabila orang yang wudhu menyentuh perempuan dengan tangganya atau dengan anggota badanya maka wudhunya batal dengan syarat bertemunya kulit antara yng menyentuh dengan yag disentuh. Dan syarat bagi orang yang menyentuh adalah udah baligh yang mana dalam menyentuh tersebut  bertujuan untuk kenikmatan meskipun dalam menyentuhnya tidak ada rasa nikmat, atau tidak bertujuan mencari kenikmatan tetapi dalam menyentuh mendapatkan kenikmatan dan yang disentuh tidak memakai satir (aling-aling) atau yang disentuh menggunakan satir yang tipis, apabila yang disentuh menggunakan satir yang tebal maka wudhunya tidak batal.
Tidak membatalkan wudhu menyentuh anak wanita yang kecil yang tidak menimbulkan sahwat, dan tidak batal wudhunya menyentuh wanita yang tua. Adapun menyentuh rambut seorang wanita dengan tujuan mencari kenikmatan atau tudak bertujuan mencari kenikmatan akan tetapi dia menemukanya ketika menyentuh maka wudhunya batal.
Ruang lingkup menyentuh yang dapat membatalkan wudhu dalam madzhab malikiyah adalah menyentuh dengan tujuan mencari kenikmatan, atau tidak mencari kenikmatan tapi menemukanya dalam menyentuh maka wudhunya batal, tidak peduli istrinya sendiri atau pemuda amrod. Akan tetapi kalau yang disentuh adalah muhrimnya sendiri, seperti saudara perempuanya, anak perempuanya, bibinya dan orang yang menyentuh adalah orang mudah sahwat, tapi ketika menyentuh tidak ada kenikmatan maka wudhunya tidak batal. Akan tetapi kalau yang disentuh itu bukan mahramnya maka wudhunya batal.
Sama halnya dengan menyentuh (dalam madzhab maliki) adalah mencium dengan bibir, maka wudhunya batal secara muthlaq meskipun tujuanya tidak mencari kenikmatan dan tidak dalam menciumnya tidak menemukan kenikmatan.
Mencium dengan tujuan kasih sayang tidak membatalkan wudhu, akan tetapi dikembalikan lagi pada tujuanya, apabila tujuanya tidak mencari kenikmatan maka wudhunya tidak batal, apabila tujuanya mencari kenikmatan maka wudhunya batal.
Kesemuanya ini adalah untuk yang menyentuh, adapun syarat bagi yang disentuh adalah baligh,dan apabila dia disentuh menemukan rasa nikmat maka wudhunya batal. Atau dia menyengaja untuk disentuh dengan tujuan mencari kenikmatan maka wudhunya batal, dalam hal ini ( menyengaja untuk disentuh) dia seperti orang yang menyentuh dan hukumnya seperti orang yang menyentuh seperti yang tertera diatas.
Wudhu tidak batal karena memikirkan (menghayal) sesuatu yang bisa menimbulkan rasa enak (sahwat), atau sebab melihat sesuatu yang bias menimbulkan rasa nikmat. Akan tetapi kalau dia memikirkan tersebut sampai dia keluar madzi, maka wudhu batal. ( batalnya wudhu karena keluar madzi bukan karena memikirkan/ menghayal). Begitu pula kalau dia memimikirkan/ menghayal tersebut sampai keluar mani, maka dia wajib mandi karena sebab keluar mani.
Hanafiyah berpendapat bahwa menyentuh dengan menggunakan anggota badan manapun tidak membatlakan wudhu baik bagi yang disentuh maupun yang menyentuh malaupun kedua-duanya bugil.
Seperti misalkan seorang laki-laki tidur bersama istrinya dalam satu ranjang dan kedua-duanya bugil maka wudhu kedua-duanya tidak batal, kecuali dalam dua hal: yang pertama apabila dari keduanya keluar sesuatu seperti madzi atau yang lainya maka wudhunya batal. Yang kedua sisuami menaruh kemalunya kepada kemaluan istrinya.[10]
Dari sini dapat disimpulkan dalam pembahasan menyentuh terdapat perbedaan para imam madzhab, ketika menentukan hukum menyentuh hanafiyah sangat berbeda dengan imam-imam yang lain. Malikiyah dalam masalah menyentuh ruang lingkupnya pada menyengaja mendapat kenikmatan atau menemukan kenikmatan ketika menyentuh. Sedangkan syafiiyah dan hanabilah terdapat perbedaan pendapat dalam menyentuh perempuan tua yang tidak menimbulkan sahwat. Syafi’iyah berpendapat tidak membatalkan wudhu, sedangkan hanabilah membatalkan wudhu. Begitu pula para imam madzhab berbeda dalam menyentuh amrod yang jamil, malikiyah berpendapat membatalkan wudhu, sedangkan syafi’iyah dan hanabilah tidak membatalkan wudhu. Dalam menyentuh rambut, malikiyah berpendapat apabila laki-laki menyentuh rambut perempuan wudhunya batal apabila menyengaja untuk mencari kenikmatan atau tidak dengan tujuan mencari kenikmatan tapi dalam menyentuh dia menemukan kenikmatan maka wudhunya batal. Akan tetapi bagi wanita yang disentuh rambutnya wudhuya tidak batal, tetapi menurut hanabilah dan syafi’iyah mereka berpendapat menyentuh rambut tidak batal wudhunya.
Hanafi: wudhu itu tidak batal kecuali dengan menyentuh, di mana sentuhan itu dapat menimbulkan ereksi pada kemaluan.
Imamiyah: menyentuh itu tidak membatalkan wudhu secara mutlak. Ini kalau sentuhan itu pada wanita. Begitu pula orang yang berwudhu itu menyentuh kemaluanya, baik anus maupun qubulnya tanpa ada aling-aling maka menurut Imamiyah dan Hanafi: ia tidak membatalkan wudhu.
Syafi’I dan Hambali: menyentuh itu dapat membatalkan wudhu secara mutlak, baik sentuhan dengan telapak tangan maupun dengan belakangnya.
Maliki: ada hadis yang diriwayatkan oleh mereka, yang membedakan antara menyentuh dengan telapak tangan. Yakni, jika ia menyentuh dengan telapak (bagian depan), maka membatalkan wudhu, tapi jika menyentuh dengan belakangnya tidak membatalkan wudhu.[11]
  • Muntah
Menurut Hambali: ia dapat membatalkan wudhu secara mutlak, tapi menurut Hanafi: ia dapat membatalkan wudhu kalau sampai memenuhi mulut. Sedangkan menurut syafi’I, Imamiyah danMaliki: ia tidak membatalkan wudhu.[12]
Hanabilah berpendapat sesuatu yang keluar dari tubuh manusia yang mana keluarnya selain dari qubul atau dubur itu bisa membatalkan wudhu dengan syarat yang keluar itu banyak. Untuk batasan yang keluar itu banyak atau sedikit itu dikembalikan kepada urf. Seperti contoh muntah-muntah apabila muntah-muntah itu keluanya banyak menurut urf (kebiasaan) maka muntah-muntah tersebut membatalkan wudhu, apabila sedikit maka tidak membatalkan wudhu.[13]
  • Darah dan nanah
Sesuatu yang keluar dari badan bukan dari dua jalan (qubul dan dubur), seperti darah, dan nanah, maka menurut Imamiyah, Syafi’I dan Maliki: ia tidak membatalkan wudhu. Hanafi: ia dapat membatalkan wudhu, jika mengalirdari tempat keluarnya.
Hambali: Ia dapat membatalkan wudhu dengan syarat darah dan nanah yang keluar itu banyak.[14]
  • Tertawa
Tertawa itu dapat membatalkan sholat, menurut kesepakatan semua kaum muslimin, tetapi tidak dapat membatalkan wudhunya ketika waktu sholat, maupun diluarnya kecuali menurut Hanafi.
Hanafi: dapat membatalkan wudhu karena ketawanya itu sampai terbahak-bahak didalam sholat, tetapi diluar sholat tidak membatalkan wudhu.Hanafiyah : Mereka berpendapat bahwa tertawa terbahak-bahak ketika shalat dapat membatalkan wudhu’. Hal itu telah banyak ditegaskan dalam beberapa hadits. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ath Thabrani dari Abu Musa, beliau berkata : Ketika Rasulullah shalat bersama orang-orang, tiba-tiba ada seorang lelaki yang masuk, kemudian ia terjatuh ke dalam lubang yang terdapat didalam mesjid, ia adalah seorang yang buta, maka banyak diantara mereka yang tertawa sedangkan mereka dalam keadaan shalat. Kemudian Rasulullah SAW menyuruh mereka yang tertawa untuk berwudhu kembali dan mengulangi shalatnya.
Yang dimaksud tertawa terbahak-bahak adalah tertawa yang mengeluarkan suara yang dapat terdengar oleh orang di sekitarnya. Namun bila tertawanya hanya bias di dengar oleh dirinya sendiri, maka wudhunya tidak batal, akan tetapi shalatnya batal karenanya. Tertawa terbahak-bahak, dalam shalat hanya akan membatalkan wudhu, manakala orang tersebut sudah baligh, baik laki-laki maupun perempuan, dan baik sengaja maupun tidak sengaja.[15]
  • Memakan Daging Unta dan Memandikan Jenazah
Memakan daging unta dan sebab memandikan jenazah, imam mujtahid juga sepakat tidak membatalkan wudhu. Kecuali hanabilah berpendapat bahwa memakan daging unta dan sebab memanikan jenazah membatalkan wudhu.[16]

  • Darah Haid
Al’allamah Al-Hilli dalam bukunya al-Tadzkirah menjelaskan, beliau termasuk salah seorang ulama besar ahli fiqih dari kalangan Imamiyah: Darah Haid itu kalau sakit, ia wajib berwudhu, begitulah menurut pendapat ulama kami, kecuali Ibnu Abi ‘Uqail. Sedangkan menurut Maliki: bagi orang yang Haid tidak di wajibkan berwudhu.[17]
  • Ø Menyentuh Dzakar
Hanafiyah : berpendapat bahwa menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu sekalipun dengan syahwat. Baik dengan menggunakan telapak tangan ataupun dengan bagian dalam jemari tangannya.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
من مس ذ كره فليتوضأ
            Artinya : “Barang siapa menyentuh dzakarnya, maka hendaklah ia berwudhu.”
Malikiyah :  Mereka berpendapat bahwa wudhunya itu dapat batal disebabkan menyentuh dzakar dengan beberapa syarat berikut :
  1. Orang yang menyentuh dzakarnya sendiri maupun dzakar orang lain.
  2. Orang tersebut baligh, walaupun ia adalah seorang banci. Maka wudhu seorang anak kecil tidaklah batal akibat sentuhan itu.
  3. Sentuhan itu tanpa pengahalang
  4. Sentuhan itu dilakukan dengan menggunakan bagian dalam telapak tangan, atau bagian tepi telapak tangan, atau bagian dalam jemari tangan, atau bagian tepi jemari tangan, atau  ujung jari sekalipun jari itu adalah jari lebih (yaitu) bila jari lebih itu sama dengan salah satu jari aslinya dalam menangkap rasa dan dalam berbuat. Maka wudhu itu tidak batal apabila ia menyentuh dzakarnya dengan anggota badan lainnya, seperti menyentuh dengan pahanya atau dengan lengan tangannya.
Syafi’iyah : mereka berpendapat bahwa wudhu itu dapat batal dengan menyentuh dzakar dengan menyentuh tempat potongannya (tempat sunatannya), dengan syarat berikut :
  1. Tidak ada suatu penghalang.
  2. Sentuhan itu dilakukan dengan menggunakan telapak tangan atau jemari tangan bagian dalam. Maksudnya, adalah bagian yang tertutup disaat kedua tangan itu dirapatkan satu sama lainnya dengan sedikit ditekan. Sehingga, menyentuh dzakar dengan menggunakan bagian pinggir telapak tangan atau ujung jemarinya dan dengan menggunakan bagian yang terdapat antara pinggir telapak tangan dan ujung jemarinya tidak membatalkan wudhu.[18]
  • Ø Murtad
Hanafiyah : Mereka berpendapat bahwa wudhu itu tidak batal disebabkan karena murtad. Walaupun murtad itu dapat menghapus semua amal keagamaan yang banyak dan menggugurkan semua perbuatan yang berbentuk pengorbanan harta dan sebagainya.
Syafi’iyah : Murtad itu tidak membatalkan wudhu bila orang itu murtad dalam keadaan sehat dari penyakit beser dan semacamnya. Sedangkan bila orang itu beser, maka wudhunya batal dengan sebab murtad, karena kesuciannya itu lemah.[19]

  1. B.  Sebab-sebab Batalnya Wudhu
Imam Shadiq berkata, “Tidak ada yang mewajibkan wudhu kecuali : buang air besar, kencing, atau keluar angin yang kamu dengar suaranya atau kamu cium baunya.” Dan beliau berkata juga, “Adakalanya mata itu tidur, tapi hati dan telinga tidak ikut tidur. Jika mata, telinga, dan hati semuanya tidur, maka wajib wudhu.” Dalam riwayat ketiga, beliau berkata, “Yang menghilangkan wudhu adalah : buang air besar, kencing, keluar angin, keluar mani, dan tidur yang menghilangkan akal.” Dalam riwayat keempat, “Tidak ada yang menghilangkan wudhu kecuali hadas dan tidur.” Dan tidak diragukan bahwa junub, haid, istihadhah, dan nifas tergolong hadas[20].
Secara globlal dapat disebutkan bahwa riwayat-riwayat diatas dan riwayat-riwayat lainnya menunjukkan bahwa wudhu diwajibkan karena : buang air besar, buang angin, kencing, junub, haid, istihadhah, nifas, dan tidur yang menghilangkan pendengaran dan akal. Adapun hilangnya akal karena mabuk, gila, dan pingsan maka kewajiban wudhu pada kasus-kasus ini didasarkan pada ijma’, bukan nash. Karena itu, sesudah menukil hadis-hadis yang membatalkan wudhu, pengarang al-Wasail berkata, “Hadis-hadis yang menjelaskan batalnya wudhu menunjukkan bahwa hilangnya akal tidak membatalkan wudhu. Tapi itu cocok dengan ihtiyath.” Hal-hal yang menghilangkan wudhu adalah juga yang mewajibkannya., karena ia merusak dan membatalkan wudhu.
Dari penjelasan diatas jelas bagi kita bahwa keluarnya cacing, batu, darah, madzi, wadhi, dan muntah, juga mencium, menyentuh, dan sebagainya, semua itu tidak mewajibkan wudhu dan tidak merusaknya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Batalnya Wudhu menurut imam Madzhab"

Post a Comment