Aturan Membuat Kesepakatan dalam Jual Beli


Yang dimaksud syarat dalam jual beli adalah kesepakatan yang dibuat aqidain, karena adanya akad, untuk kepentingan salah satu atau kedua aqidain atau untuk tujuan shahih. 

Antara Kesepakatan dan Syarat Jual Beli
Kesepakatan ini diluar syarat sah jual beli dan di luar konsekuensi akad. 
Bedanya, 
Syarat sah jual beli ditetapkan oleh syariat, sebagai bagian dari konsekuensi akad. Syarat dalam jual beli ditetapkan berdasarkan kesepakatan aqidain
Jika salah satu syarat sah tidak terpenuhi maka jual beli tidak sah. Jika salah syarat jual beli tidak dipenuhi, kembali kepada kerelaan pihak yang dirugikan. 

Hukum asal syarat dalam jual beli adalah boleh dan sah. Selama tidak melanggar al-Quran, sunah, atau bertentangan dengan konsekuensi akad.
Allah berfirman, 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah semua perjanjian..” (QS. al-Maidah: 1)

Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
“Kaum muslimin harus memenuhi setiap syarat (perjanjian) diantara mereka.” (HR. Abu Daud 3596)

Macam-macam Kesepakatan
Secara umum dibagi dua, 
Pertama, syarat yang sah
Ada beberapa bentuk, diantaranya, 
[1] Syarat yang sesuai dengan konsekuensi akad
Misal: pembeli mempersyaratkan bahwa penjual harus menanggung setiap aib yang ada pada barang

[2] Syarat jaminan kepercayaan (tautsiqiyah)
Misal: si A menjual mobil kepada si B secara kredit. Dan si B minta, agar selama masa pelunasan, ada satu orang yang bisa dijadikan penjamin (dhamin)

[3] Syarat terkait kriteria barang, terutama untuk jual beli yang barangnya tertunda
Misal: Pembeli minta agar penjual menyerahkan barang dengan warna tertentu. 

[4] Syarat yang manfaatnya kembali kepada salah satu aqidain
Misal: si A menjual rumah ke si B, namun si A mempersyaratkan agar rumah ini ditempati satu bulan lagi. 

[5] Syarat  yang membatasi sebagian hak kepemilikan. 
Ini boleh, selama pihak yang diambil haknya merelakan. Dan syarat ini tidak bertentangan dengan konsekuensi akad. Karena akad tetap jalan, barang berpindak kepemilikan, hanya saja sebagian haknya direlakan. 
Misal: si A menjual rumah ke si B, dengan syarat, si B harus yang menempati rumah itu, dan tidak boleh dijual. Karena si A tidak ingin bertentangga dengan selain si B. 

[6] Syarat jazaiyah sebagai ganti rugi karena keterlambatan kerja.
→ ini boleh selama ganti rugi itu bukan karena keterlambatan penyerahan uang, karena ini riba
Misal: si A pesan ke si B barang x untuk diserahkan bulan depan. Jika lebih dari jatuh tempo tidak diserahkan, si B wajib membayar ganti rugi. 

[7] Syarat menggantung
Misal: Saya mau jual mobil ini seharga 200 jt ke anda, jika orang tua saja bersedia. Tunggu saya izin dulu. Jika ortu setuju, akad sah dan konsekuensinya harus dipenuhi. 

Semua syarat di atas hukumya boleh, karena keinginan orang itu berbeda-beda. Dan hikmah dari syariat, membolehkan semuanya sebagai konsekuensi dihalalkannya jual beli. 

Kedua, syarat yang fasid (batal)
Secara umum, hanya ada 2:
[1] Syarat yang melanggar larangan syariat

Misal: menggabungkan antara jual beli dan utang. Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,    
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak halal menggabungkan utang dengan jual beli.” (HR. Ahmad 6831, Nasai 4647, dan yang lainnya)

Atau syarat yang mengandung maksiat, atau yang merugikan salah satu pihak di luar konsekuensi akad dan tidak ada keridhaan. 
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسِهِ
“Tidak halal harta seorang muslim, kecuali dengan kerelaan dirinya.” (HR. ad-Daruquthni 2924). 

[2] Syarat yang bertentangan dengan konsekuensi akad
Misal: syarat jual beli, sementara barang tidak boleh dibawa oleh pembeli. 

Semua syarat yang fasid disebut syarat yang tidak sesuai kitabullah. Statusnya syarat yang batal, meskipun jual belinya sah. 
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
Semua syarat yang tidak ada dalam kitab Allah maka statusnya batal, meskipun jumlahnya 100 syarat. (HR. Bukhari & Muslim). 

Yang dimaksud: 
“syarat yang tidak ada dalam kitab Allah” adalah syarat yang tidak sesuai dengan hukum dan aturan Allah. Demikian pendapat jumhur. 
Berbeda dengan pendapat dzahiriyah yang menyatakan bahwa hukum asal syarat adalah dilarang, kecuali jika ada dalilnya dari al-Quran dan sunah. Dan ini kesalah pahaman dalam menyimpulkan dalil. 



Contoh Kasus
Seorang petani berutang ke orang kaya di kampungnya (mr. X) untuk biaya safar. Jika mr. X  minta agar sawahnya petani dia sewa dengan harga normal selama utang belum dilunasi, apakah ini dibolehkan?

Jawab: 
Sawah milik pak tani, tidak digadaikan. Tapi dia disewakan ke mr. X sebagai syarat dari utang yang dia berikan. 
Sehingga di sana ada 2 transaksi, utang dan sewa sebagai transaksi muawwadhat. 
Kita memiliki acuan, hadis Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,    
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak halal menggabungkan utang dengan jual beli.” (HR. Ahmad, Nasai, dan yang lainnya).

Dalam hadis ini, Jual beli tidak boleh digabungkan dengan akad utang. Karena berarti keberadaan satu akad menjadi syarat bagi akad yang lain. Sehingga seperti ada 2 jual beli dalam satu jual beli. Karena itu, larangan ini berlaku untuk semua gabungan antara akad utang dengan akad muawwadhat (komersial). Termasuk menggabungkan akad qard dengan ijarah, yang itu hakekatnya adalah jual beli jasa.  

Berdasarkan hadis ini maka AAOIFI  dalam panduan lembaga keuangan syariah melarang penggabungan akad qardh dan akad ijarah, 
Pasal (19) tentang Qardh, ayat (7) yang berbunyi, 
لا يجوز اشتراط عقد البيع أو الإجارة أو نحوهما من عقود المعوضات في عقد القرض
"Lembaga keuangan syariah tidak dibolehkan mensyaratkan akad ba'i (jual-beli), akad ijarah (sewa), atau akad mu'awadhah lainnya yang digabung dengan akad qardh. Karena dalam jual/sewa, biasanya, pihak debitur sering menerima harga di atas harga pasar dan ini merupakan sarana untuk terjadinya riba (pinjaman yang mendatangkan keuntungan bagi kreditur)”. (al-Ma'ayir asy-Syari'iyah, hal 270).

Allahu a’lam

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Aturan Membuat Kesepakatan dalam Jual Beli"

Post a Comment