HUKUM MAKELAR TANAH DAN PERMASALAHAN KOMISI

 

HUKUM MAKELAR TANAH DAN PERMASALAHAN KOMISI

HUKUM MAKELAR TANAH DAN PERMASALAHAN KOMISI


Makelar adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah tanpa menanggung  resiko, dengan kata lain makelar ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli. Makelar yang terpercaya tidak dituntut resiko sehubungan dengan rusaknya atau hilangnya barang dengan tidak sengaja.

Makelar tanah adalah perantara antara pemilik tanah dan pihak pembeli. Makelar tanah mendapatkan komisi sesuai dengan kesepakatan dengan pemilik tanah. Namun pada kenyataan banyak terjadi praktik yang merugikan pihak penjual atau pembeli tanah. Masalah yang terjadi kalau Makelar tanah ingin mendapatkan hasil (baca: uang) sebanyak-banyaknya, sehingga sering terjadi kasus pendzhaliman/memberatkan baik terhadap pihak Penjual maupun Pembeli, dan kasus-kasus lain yang sering juga menimbulkan konflik. Menurut hukum Islam dalam masalah perdagangan seharusnya tidak menimbulkan konflik, memberatkan salah satu pihak atau penzhaliman, semua pihak harus ikhlas agar perdagangan tidak menimbulkan kemudharatan. 


Hukum makelar dalam Islam
 
Pekerjaan makelar menurut pandangan islam adalah termasuk akad ijarah, yaitu suatu perjanjian memanfaatkan suatu barang atau jasa, misalnya rumah atau suatu pekerjaan seperti pelayan, jasa pengacara, konsultan, dan sebagainya dengan imbalan.


Persetujuan kedua belah pihak, sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 29

Allah Swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An Nisa’ : 29).
 

Karena pekerjaan makelar termasuk ijarah, maka untuk sahnya pekerjaan makelar ini, harus memenuhi syarat, yaitu:
  1. Obyek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan
  2. Obyek akad bukan hal-hal maksiat atau haram.
Makelar dan Penjual harus bersikap jujur, ikhlas, terbuka, tidak melakukan penipuan dan bisnis yang haram maupun yang syubhat. Imbalan berhak diterima oleh seorang makelar setelah ia memenuh akadnya, sedang pihak yang menggunakan jasa makelar harus memberikan imbalannya, karena upah atau imbalan pekerja dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja yang bersangkutan. Sesuai dengan hadist Nabi:

اعطواالأجيراجره قبل ا ن يجف عرقه
Artinya : Berilah kepada pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya (Hadist riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Uma, Abu Ya’la dari Abu Hurairah dan Al thabrani dari Anas).

Jumlah imbalan yang harus diberikan kepada makelar adalah menurut perjanjian sebagaimana Al Qur’an surat Al Maidah ayat 1

Allah Swt berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.(Qs. Al-Maidah :1)


Menurut Dr. Hamzah Ya’kub bahwa antara pemilik barang dan makelar dapat mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang di peroleh pihak makelar.

Adapun sebab-sebab pemakelaran yang tidak diperbolehkan oleh islam yaitu:

  1. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap pembeli.
  2. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap penjual.


Apakah Upah Calo Boleh Dalam Bentuk Prosentasi ?


Mayoritas ulama menyatakan bahwa upah calo harus jelas nominalnya, seperti Rp. 500.000,- atau Rp. 1.000.000,- dan tidak boleh dalam bentuk prosentasi, seperti dapat 10 % dari hasil penjualan.

Alasan mereka, bahwa upah calo masuk dalam katagori Ju’alah, dan syarat Ju’alah harus jelas hadiah atau upahnya. Hal ini berdasarkan hadist Abu Sa’id al-Khudri yang menyatakan :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اسْتِئْجَارِ الْأَجِيرِ حَتَّى يُبَيَّنَ لَهُ أَجْرُهُ

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melarang seseorang menyewa seorang pekerja sampai menjelaskan jumlah upahnya“ (HR. Ahmad)


 Analisis Kasus


Perhitungan komisi yang diajukan makelar tanah di Indonesia minimal adalah sebesar 2,5% dari nilai tanah, nilai 2,5% ini belum jelas berdasarkan apa karena tidak ada hukum perdagangan dalam Islam yg menyebutkan secara riil nilai 2,5% tersebut, jadi tidak ada aturan minimal komisi dari penjualan tanah adalah sebesar 2,5%. Nilai tersebut kemungkinan besar hanya karena "kebiasaan" yang dilakukan sejak dulu dan turun temurun sehingga sudah menjadi "standar" di masyarakat.

Salah satu contoh kasus adalah sebagai berikut,

Seorang pemilik tanah karena suatu kebutuhan mendesak (misal karena anggota keluarga sakit) harus menjual tanah secepatnya (misal dengan nilai total tanah sebesar Rp. 250.000.000,-), dia menghubungi makelar dengan harapan agar dibantu dalam penjualan tanah miliknya, si makelar meminta komisi 2,5% yang tidak dapat ditawar karena menurut dalih si Makelar nilai 2,5% tersebut sudah merupakan "standar" di Masyarakat, si penjual tanah tidak bisa menawar lagi dan dengan "terpaksa" menyepakati nilai tersebut. Nilai 2,5 % dari contoh kasus ini adalah sebesar Rp. 6.250.000,-.

Yang jadi masalah jika jumlah tersebut ternyata terlalu besar dan sangat berarti bagi si Penjual, namun si Penjual tidak berdaya karena nilai "2,5%" itu sudah menjadi "Standar" dalam dunia percaloan Tanah. Dengan arti lain "keikhlasan" si penjual tanah dalam kasus ini pun dapat dipertanyakan meskipun telah terjadi kesepakatan,  padahal ikhlas itu sangat penting dalam urusan Syariat.

Kesepakatan yang terjadi pun merupakan "keterpaksaan", baik disadari atau tidak, karena bisa dipastikan semua makelar tanah pasti akan mengajukan komisi dengan nilai minimal 2,5%, sedangkan si penjual dalam kasus ini sangat butuh untuk tanah miliknya segera terjual.

Dapat dilihat dari kasus tersebut ternyata komisi dengan nilai minimal sebesar 2,5% itu memberatkan pihak penjual atau dengan kata lain ada unsur menzhalimi penjual, tetapi karena ada "peraturan" minimal 2,5% tersebut maka pihak penjual tidak dapat berbuat banyak.

Oleh sebab itu, dalam hal pemakelaran lebih baik komisi disepakati atas kesanggupan penjual tanah, bukan berdasarkan prosentasi (%). Pihak penjual pun niscaya akan lebih ikhlas dalam memberikan komisi kepada pihak Perantara/Makelar. Karena dalam perdagangan tidak boleh terjadi ketidak-ikhlasan pada suatu pihak walau sedikit pun.
  

Analisa Komparasi Dengan Beberapa Jenis Percaloan Lain


1. Makelar Kendaraan

Biasanya pada bisnis percaloan kendaraan, si makelar mendapatkan komisi bukan atas prosentase, tetapi berdasarkan jumlah uang yang disepakati. Selain itu makelar kendaraan juga dapat mendaatkan keuntungan dengan melebihi harga kendaraan yang dijual dengan sepengetahuan pemilik mobil. Antara pihak penjual dan makelar dalam hal ini sama-sama tidak ada yg diberatkan/dizhalimi.

2. Salesman / Sales Agent

Sales suatu barang atau jasa akan mendapatkan prosentase dari hasil penjualan. Tetapi pihak produsen/distributor/penyedia jasa tentunya telah menghitung nilai prosentase komisi yang diberikan kepada pihak Sales sesuai dengan estimasi keuntungan yang di dapat. Dalam hal ini Pihak Produsen/Distributor dan Sales tidak ada yang diberatkan/dizhalimi, karena pihak Produsen/Distributor pasti telah menghitung keuntungan yang diperoleh dan pihak Sales mendapatkan hasil berupa komisi.

3. Pedagang

Definisi pedagang secara umum berbeda dengan Makelar, meskipun kenyataannya cara kerja dan definisinya bisa juga masuk dalam istilah Makelar. Pedagang biasanya mendapatkan Komisi (dalam hal ini keuntungan) dengan melebihkan nilai barang yang dijual, produsen/distributor jelas telah mendapatkan keuntungan dari setiap barang yang terjual, sehingga pihak produsen/distributor maupun pihak Pedagang/Penjual tidak ada yang diberatkan/dizhalimi


Wallahu A’lam

dikutip dari : http://jalanhidupku83.blogspot.co.id 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "HUKUM MAKELAR TANAH DAN PERMASALAHAN KOMISI "

Post a Comment