Salah seorang ulama besar Syafi’iyah, Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata,
وأما سنة الجمعة التي قبلها فلم يثبت فيها شيء
“Adapun shalat sunnah rawatib
sebelumm Jum’at, maka tidak ada hadits shahih yang mendukungnya.” (Fathul Bari, 2: 426)
Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad menyebutkan,
” وكان إذا فرغ بلال من الأذان أخذ النبي صلى الله عليه وسلم في
الخطبة ، ولم يقم أحد يركع ركعتين البتة ، ولم يكن الأذان إلا واحدا ، وهذا يدل
على أن الجمعة كالعيد لا سنة لها قبلها ، وهذا أصح قولي العلماء ، وعليه تدل السنة
، فإن النبي صلى الله عليه وسلم كان يخرج من بيته ، فإذا رقي المنبر أخذ بلال في
أذان الجمعة ، فإذا أكمله أخذ النبي صلى الله عليه وسلم في الخطبة من غير فصل ،
وهذا كان رأي عين ، فمتى كانوا يصلون السنة ؟
“Jika bilal telah mengumandangkan adzan Jum’at,
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam langsung berkhutbah dan
tidak ada seorang pun berdiri melaksanakan shalat dua raka’at kala itu. (Di
masa beliau), adzan Jum’at hanya dikumandangkan sekali. Ini menunjukkan bahwa
shalat Jum’at itu seperti shalat ‘ied yaitu sama-sama tidak ada shalat sunnah qobliyah
sebelumnya. Inilah di antara pendapat ulama yang lebih tepat dan inilah yang
didukung hadits. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah keluar dari rumah beliau, lalu beliau
langsung naik mimbar dan Bilal pun mengumandangkan adzan. Jika adzan telah
selesai berkumandang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkhutbah dan tidak ada selang waktu (untuk shalat
sunnah kala itu). Inilah yang disaksikan di masa beliau. Lantas kapan waktu
melaksanakan shalat sunnah (qobliyah Jum’at tersebut)?”
Jadi ketika kita masuk masjid, jika kita bukan
imam, maka lakukanlah shalat tahiyatul masjid dan boleh menambah shalat sunnah
dua raka’at tanpa dibatasi. Shalat sunnah tersebut boleh dilakukan sampai imam
naik mimbar. Dan shalat sunnah yang dimaksud bukanlah shalat sunnah qobliyah
Jum’at, namun shalat sunnah mutlak.
Al-Hafizh
Abu Syamah Abdur Rahman bin Isma’il Al-Maqdisiy -rahimahullah- berkata, “Ini-yakni hadits Ibnu Umar-merupakan dalil
yang membuktikan bahwa jum’at menurut mereka bukan zhuhur. Kalaulah tidak
demikian, maka beliau-Ibnu Umar- tak perlu menyebutkan jum’at, karena sudah
masuk definisi zhuhur. Kemudian tatkala beliau tidak menyebutkan shalat sunnah
qobliyah jumat, hanya ba`diyahnya saja, maka ini membuktikan bahwa tak ada shalat sunnah
qobliyah jumat”. [Lihat Al-Ba`its ala Inkaril Bida wal
Hawadits (
hal.159)]
Syaikhul Islam Ahmad
bin Abdul Halim Al Harrony -rahimahullah- berkata, ”Oleh karena ini, jumhur ulama
sepakat tidak adanya shalat sunnah yang ditentukan waktu dan bilangannya.
Karena semua itu harus ditetapkan berdasarkan sabda dan perbuatan Nabi
-Shollallahu Alaihi Wasallam-. Beliau tak pernah menetapkan sunnahnya hal itu (sunnah qobliyyah Jum’at), baik
berdasarkan ucapan ataupun perbuatan beliau.Inilah madzhab Malik, Asy Syafi’i,
dan sebagian besar pengikutnya serta pendapat yang masyhur dalam madzhab
Ahmad”. [Lihat Majmu’ Fatawa (1/136), dan Majmu’ah Ar Rosa’il Al Kubro (2/167-168)]
Al-Allamah Abdur
Rahim Ibnul Husain Al-Iroqy Al-Atsariy -rahimahullah- berkata, “Saya belum pernah menjumpai di
dalam pendapat para fuqoha` dari
kalangan madzhad Hanafi, Maliki , dan Hanbali adanya sunnah qobliyah jumat. Yang
lain berpendapat adanya qobliyah jumat, diantaranya An-Nawawy”. [Lihat Thorh At-Tatsrib (3/41)]
Syaikh Muhammad bin
Ahmad bin Muhammad Abdus Salam Asy-Syuqoiriy -rahimahullah- berkata, “Sesungguhnya pada asalnya, tak
ada dalil yang menunjukkan shalat sunnah rowatib qobliyyah Jum’at. Paling
tinggi yang ada pada mereka adalah qiyas yang tertolak tersebut. Dia (Fairuz
Abadiy) berkata dalam Safar As-Sa’adah, “Dulu
Bilal apabila selesai adzan, maka Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- mulai
berkhutbah, dan tak ada seorangpun yang bangkit melaksanakan shalat sunnah.
Sebagian ulama’ berpendapat tentang shalat sunnah qobliyyah Jum’at dengan
mengqiyaskannya dengan shalat Zhuhur. Penetapan shalat sunnah berdasarkan qiyas
merupakan perkara yang tidak boleh.
Al-Lajnah Ad-Da’imah
li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’
(Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa) di sebuah negeri Timur Tengah mengeluarkan fatwa tentang tidak adanya shalat qobliyyah jum’at, “Shalat Jum’at tidak memiliki shalat sunnah qobliyyah dan tidak ada dari Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- (sepanjang pengetahuan kami) sesuatu yang menunjukkan tentang disyari’atkannya. Adapun hadits Ibnu Mas’ud, maka ia diriwayatkan oleh At-Tirmidziy secara mu’allaq dengan bentuk “tamridh”(istilah lemahnya hadits, pen), dan mauquf (terhenti) pada Ibnu Mas’ud.
(Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa) di sebuah negeri Timur Tengah mengeluarkan fatwa tentang tidak adanya shalat qobliyyah jum’at, “Shalat Jum’at tidak memiliki shalat sunnah qobliyyah dan tidak ada dari Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- (sepanjang pengetahuan kami) sesuatu yang menunjukkan tentang disyari’atkannya. Adapun hadits Ibnu Mas’ud, maka ia diriwayatkan oleh At-Tirmidziy secara mu’allaq dengan bentuk “tamridh”(istilah lemahnya hadits, pen), dan mauquf (terhenti) pada Ibnu Mas’ud.
Dinukil dalam Kitab Tuhfah Al-Ahwadziy
(3/79- cet. Dar Ihya’ At-Turots Arobiy, pen) dari Al-Hafizh, bahwa Abdur Rozzaq dan Ath-Thobroniy telah mengeluarkan hadits ini secara marfu’, sedang pada sanadnya terdapat kelemahan dan keterputusan.
Hadits sejenis ini tidak bisa dijadikan hujjah. Adapun hadits Abu Hurairah tentang perkara Sulaik, maka haditsnya shohih. Akan tetapi, hadits itu dalam perkara tahiyyatul masjid, bukan sunnah qobliyyah Jum’at. Adapun hadits,
(3/79- cet. Dar Ihya’ At-Turots Arobiy, pen) dari Al-Hafizh, bahwa Abdur Rozzaq dan Ath-Thobroniy telah mengeluarkan hadits ini secara marfu’, sedang pada sanadnya terdapat kelemahan dan keterputusan.
Hadits sejenis ini tidak bisa dijadikan hujjah. Adapun hadits Abu Hurairah tentang perkara Sulaik, maka haditsnya shohih. Akan tetapi, hadits itu dalam perkara tahiyyatul masjid, bukan sunnah qobliyyah Jum’at. Adapun hadits,
“Diantara dua adzan
ada shalat”,
maka ini tidak cocok pada shalat Jum’at, karena Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- dulu memulai dengan khutbah, setelah usai adzan.
Tidak boleh melaksanakan shalat sunnah, sedang imam berkhutbah, kecuali tahiyyatul masjid. Adapun qiyas, maka itu terlarang dalam ibadah-ibadah, karena ibadah terbangun di atas tauqif (penetapan berdasarkan dalil). Kemudian, ia merupakan “qiyas ma’al fariq”(qiyas batil). Akan tetapi bagi orang yang datang ke masjid untuk shalat Jum’at, disyari’atkan untuk shalat (sunnah muthlaq,pen) sebagaimana yang telah ditetapkan (ditaqdirkan) baginya, tanpa ada pembatasan dengan bilangan tertentu, karena shohihnya hadits-hadits dalam perkara itu”.[Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (8/260-261) (no. fatwa:7798), kumpulan Syaikh Ahmad bin Abdur Razzaq Ad-Duwaisy, cet. Dar Balansia, 1421 H. Lajnah ketika itu beranggotakan:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz (ketua), Abdur Razzaq ‘Afifi (wakil), dan
Abdullah Al-Ghudayyan (anggota)]
maka ini tidak cocok pada shalat Jum’at, karena Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- dulu memulai dengan khutbah, setelah usai adzan.
Tidak boleh melaksanakan shalat sunnah, sedang imam berkhutbah, kecuali tahiyyatul masjid. Adapun qiyas, maka itu terlarang dalam ibadah-ibadah, karena ibadah terbangun di atas tauqif (penetapan berdasarkan dalil). Kemudian, ia merupakan “qiyas ma’al fariq”(qiyas batil). Akan tetapi bagi orang yang datang ke masjid untuk shalat Jum’at, disyari’atkan untuk shalat (sunnah muthlaq,pen) sebagaimana yang telah ditetapkan (ditaqdirkan) baginya, tanpa ada pembatasan dengan bilangan tertentu, karena shohihnya hadits-hadits dalam perkara itu”.[Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (8/260-261) (no. fatwa:7798), kumpulan Syaikh Ahmad bin Abdur Razzaq Ad-Duwaisy, cet. Dar Balansia, 1421 H. Lajnah ketika itu beranggotakan:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz (ketua), Abdur Razzaq ‘Afifi (wakil), dan
Abdullah Al-Ghudayyan (anggota)]
Muhaddits
Negeri Syam, Syaikh Abu Abdir Rahman Muhammad Nashiruddin Al-Albany -rahimahullah- berkata ketika
mengomentari ucapan Al-Iroqy di atas, “Karenanya shalat sunnah ini tidak
tersebut dalam kitab Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i, tidak juga dalam
kitab-kitab Al-Masa’il yang berisi pertanyaan kepada
Imam Ahmad, ataupun ulama-ulama mutaqoddimin selain mereka berdasarkan
pengetahuan saya.Karena ini saya katakan, "Sesungguhnya orang-orang yang
mengerjakan shalat sunnah ini, bukanlah Rosulullah -Shollallahu alaihi wasallam-
yang mereka ikuti
dan bukan pula para ulama yang mereka taklidi,
bahkan mereka taklid kepada orang-orang mutakhirin, bukan mujtahidin, sama-sama
bertaklid.
Maka sungguh heran orang-orang bertaklid mengikuti sesamanya”.[Lihat Al-Ajwibah An-Nafi’ah (hal.32)]
Maka sungguh heran orang-orang bertaklid mengikuti sesamanya”.[Lihat Al-Ajwibah An-Nafi’ah (hal.32)]
Syaikh Masyhur Hasan Salman-hafizhohullah- berkata, “Berangkat dari pembahasan
sebelumnya, maka jelaslah bagi anda kekeliruan orang-orang yang mengerjakan
shalat sunnah antara dua adzan di hari jumat, baik itu dua rokaat, empat
rakaat, dan seterusnya, karena meyakini bahwa itu merupakan shalat sunnah
qobliyah jumat -seperti halnya mereka melaksanakan shalat qobliyah zhuhur- dan
mereka meniatkan dalam hati mereka bahwa itu adalah shalat qobliyah Jum’at.!!
Sesungguhnya nas-nas sangat gamblang menjelaskan bahwa yang benar adalah Jumat itu tak ada shalat sunnah qobliyahnya dan tak ada lagi setelah kebenaran itu kecuali kesesatan…”.[Lihat Al-Qoul Al-Mubin (hal.361)]
Setelah kita mendengarkan
fatwa-fatwa para ulama’ di atas, maka kita mengetahui bahwa tak ada tuntunannya
seorang muslim melakukan shalat sunnah 2 raka’at qobliyyah jum’at. Namun jika
seorang masuk ke masjid, boleh baginya shalat 2 raka’at walaupun sebelum dan
sesudah adzan jum’at atau khotib sedang khutbah. Tapi tentunya ini bukan shalat
qobliyah jum’at, tapi disebut "shalat tahiyyatul masjid". Demikian
pula disyari’atkan shalat sebanyak-banyaknya sebelum datangnya naik mimbar,
tanpa terbatas dan terikat dengan bilangan tertentu. Ini yang disebut
"shalat sunnat muthlaq", bukan shalat Sunnah qobliyah jum’at !!
0 Response to "Adakah sholat sunnah Qobliyah Jum'at ???"
Post a Comment